Kamis, 04 Agustus 2011

Dia Menyuntingku di atas Tumpukan Kamboja dan Flamboyan Merah

Aku bertemu dengan lelaki itu, sesaat setelah air mata membuat matanya sembab.
Lelaki itu, yah lelaki itu, lelaki yang kutemui  14 hari lalu di pagar besi pemakaman dengan sekantung merah bunga kertas putih dan flamboyan merah.
Hari ini aku melihatnya kembali, sesaat setelah  air mata membuat matanya sembab.
Siapa di satu nisan itu yang membuat kelakiannya begitu rapuh?  hei,  aku pun sama dengannya, tapi aku perempuan.
Ahh, kufikir tidak.
KEMATIAN…  yah dia memang sepaket dengan air mata dan hati yang hancur… 
Siapapun… benar jika “KEMATIAN benar dapat memutuskan kebahagian dari diri seseorang, sekejap saja lalu membuatnya nelangsa setengah mati”
Aku bertemu denganya di utara tempatku mengadu rindu, di utara tempat adikku terbaring damai selamanya.
Kudengar langkah setapaknya yang semakin mendekat.
 “Itu ayahku, ayah yang takkan bisa lagi kurasakan kehangatan marahnya. Aku begitu merindukannya.  Dan kau?”
Di sini terbaring semangat dan semua  impianku, wajar jika orang kini mengidentikkanku dengan air mata. Aku pun begitu, begitu merindukannya, begitu merindukan diriku yang dulu. Aku rindu, sampai aku lupa  bagaimana caranya untuk tersenyum.
Maukah kau menemaniku menghabiskan bulir-bulir ini?
“Yah, biar kutemani kau”
“Tapi…”
“Maukah kau menikah denganku?”
“Mari kita selesaikan kisah ini. Tentang rahasia “pertemuan saat kau mengunjungi makam adikmu dan saat aku mengunjungi makam ayahku…”

3 Juni Jum'at yang Menyesakkan


Aku tahu, aku takkan pernah bisa mendengarkannya, mendengar suaranya kembali meski seberapa rindunya aku dengan paraunya…
Meski kugali sampai lapisan troposfer bumi, dan meski kusingkirkan seluruh awan di dunia… aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi…
Oh, matilah aku… lantas pada siapa aku mengadu rindu? haruskah kuakhiri duniaku untuk bertemu dengannya? Bisakah Kau menjaminnya?  jika ya, biar kuselesaikan malam ini juga…
Tahukah Kau? Tidak bisa kubiarkan begitu saja nafasku sesak sepanjang hari, sepanjang malam, sepanjang  Jum’at  dan setiap saat aku merindukannya…
Wahai kata, bantu aku menghilangkan benci ini, benci karna tak tahu harus bagaimana membunuh benci, benci yang semula rindu… karna tak bisa juga  kubiarkan air mata terus menemaniku…  penat korneaku meminta bantuan padanya…
Berhentilah!!
Kata, kenapa lantas kw berubah menjadi tawa? Jangan permainkan perasaanku, meski kau selalu bilang “dunia adalah permainan perasaan”…  atau mungkin kau ingin membuatku biasa?
Tidak…
Masih akan ada rindu seperti ini… mungkin rindu yang akan semakin hebat… jangan membuatku terbiasa dan tidak punya hati… masih akan ada kisah yang ingin kuselesaikan…  masih ingin kubantu ruhnya tenang dengan Fatihahku…
Atau kunci…
Aku butuh kunci… biar kukunci saja kenangan itu, rindu itu, semua yang membuatku sesak… aku bisa membukanya kembali jika aku hampa…
Tapi, bisakah Kau memberI tahuku, di sudut  mana letak kenangan itu berada?? agar bisa aku menguncinya…
Sia…
Mencari letaknya saja butuh waktu semur hidupku…
“Pecundanggg…”
Kembalikan aku pada waktu lagi…
Jangan menuduh aku! aku hanya benar-benar lelah….